Selasa, 22 Januari 2013

Penyakit pada hati

Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-dimensional, hati menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati,[38] dengan simtoma paraklinis berupa peningkatan rasio plasma laminin, sebuah glikoprotein yang disekresi sel Ito, asam hialuronat dan sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe III,[39] dan CEA.[40] Fibrosis hati dapat disebabkan oleh rendahnya rasio plasma HGF,[41][42] atau karena infeksi viral, seperti hepatitis B, patogen yang disebabkan oleh infeksi akut sejenis virus DNA yang memiliki fokus infeksi berupa templat transkripsi yang disebut cccDNA yang termetilasi,[43] atau hepatitis C, patogen serupa hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus infeksi berupa metilasi DNA, terutama melalui mekanisme ekspresi genetik berkas GADD45B, sehingga mengakibatkan siklus sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.[44][45]
Fibrosis hati memerlukan penangan sedini mungkin, seperti pada model tikus, stimulasi proliferasi hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis B,[46] sebelum berkembang menjadi sirosis hati atau karsinoma hepatoselular. Setelah terjadi kanker hati, senyawa siklosporina yang memiliki potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan mempercepat perkembangan sel kanker,[47] oleh karena sel kanker mengalami hiperplasia hepatik, yaitu proliferasi yang tidak disertai aktivasi faktor transkripsi genetik. Hal ini dapat diinduksi dengan stimulasi timbal nitrat (LN, 100 mikromol/kg), siproteron asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin (NAF, 200 mg/kg).[48]
Hepatitis juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria di dalam hepatosit, yang disebut steatohepatitis. Disfungsi mitokondria akan berdampak pada homeostasis senyawa lipid dan peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang menginduksi TNF-α.[49] Hal ini akan berlanjut pada pengendapan lemak, stres oksidatif dan peroksidasi lipid,[50] serta membuat mitokondria menjadi rentan terhadap kematian oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria, atau oleh apoptosis melalui pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitas membran mitokondria dengan mekanisme Fas/TNF-α. Permintaan energi yang tinggi pada kondisi ini menyebabkan mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicu sirosis hati,[50] sedangkan peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan membran mitokondria sisi dalam yang disebut sardiolipin, dengan peningkatan laju oksidasi-beta asam lemak, akan terjadi akumulasi elektron pada respiratory chain kompleks I dan III yang menurunkan kadar antioksidan.[49]
Sel hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi fibrinogen dengan reaksi fibrogenesis setelah diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang tinggi. Apoptosis kronis kemudian dikompensasi dengan peningkatan laju proliferasi hepatosit, disertai DNA yang rusak oleh disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan kanker.
Pada model tikus, melatonin merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis hati,[51] sedang pada model kelinci, kurkumin merupakan senyawa organik yang menurunkan paraklinis steatohepatitis,[52] sedang hormon serotonin[53] dan kurangnya asupan metionina dan kolina[54] memberikan efek sebaliknya dengan resistansi adiponektin.[55]
Disfungsi mitokondria juga ditemukan pada seluruh patogenesis hati, dari kasus radang hingga kanker dan transplantasi.[56] Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama dengan GSH bersinergis sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil serina hingga mencegah terjadinya sirosis hati.[57]

Pengaruh alkohol

Alkohol dikenal memiliki fungsi immunosupresif terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk meredam ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam pertahanan hati terhadap infeksi viral, terutama HCV.[58] Alkohol juga meredam rasio kemokina IFN pada lintasan transduksi sinyal selular, selain meningkatkan resiko terjadinya fibrosis.[59]
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi terhadap alkohol untuk menginduksi stres oksidatif.[60] Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh etanol adalah induksi enzim sitokrom P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion superoksida dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat toksik termasuk etanol menjadi produk yang lebih reaktif dan toksik. Sel dendritik tampaknya merupakan sel yang paling terpengaruh oleh kandungan etanol di dalam alkohol. Pada percobaan menggunakan model tikus, etanol meningkatkan rasio plasma IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α, AST, ALT, ADH, γ-GT, TG, MDA dan meredam rasio IL-10, GSH,[61] faktor transkripsi NF-κB dan AP-1.[62]

Pengaruh alkaloid

Kopi, salah satu kompleks senyawa alkaloid dari golongan purina xantina dengan asam klorogenat dan lignan,[63] pada studi epidemiologis, disimpulkan sebagai salah satu faktor penurun risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2,[64][65] penyakit Parkinson, sirosis hati dan karsinoma hepatoselular,[66] dan perbaikan toleransi glukosa.[63] Konsumsi kopi secara kronis terbukti tidak menyebabkan tekanan darah tinggi namun secara akut mengakibatkan peningkatan tekanan darah sementara dalam selang waktu singkat,[67] dan plasma homosisteina[66] sehingga dapat menjadi ancaman bagi penderita gangguan kardiovaskular.[64]
Konsumsi kopi secara teratur dapat menurunkan rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada lintasan metabolisme hati,[68] yang sering disebabkan oleh[69] infeksi viral, induksi obat-obatan, keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol, diabetes, obesitas), penyakit otoimun,[70] dan resistansi insulin, sindrom metabolisme,[71] dan kelebihan zat besi.[72] Selain ALT, kopi juga menurunkan enzim hati yang lain, yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase.[73] dan memberikan efek antioksidan dan detoksifikasi fase II oleh karena senyawa diterpena, kafestol dan kahweol,[74] sehingga mencegah terjadinya proses karsinogenesis.[75][76] Proses tersebut disertai dengan gamma-GT sebagai indikator utama.[77]

Transplantasi hati

Teknologi transplantasi hati merupakan hasil yang dikembangkan dari penelitian pada beberapa bidang studi kedokteran. Pada tahun 1953, Billingham, Brent, dan Medawar menemukan bahwa toleransi kimerisme[78] dapat diinduksi oleh infus sel hematolimfopoietik donor pada model tikus.[79]
Pada tahun 1958 studi canine mengembangkan suatu teori mengenai molekul hepatotrofik pada portal pembuluh balik pada hati dan menemukan hormon insulin sebagai faktor hepatotrofik utama dari beberapa faktor lain yang ada.[80] Pada saat yang hampir bersamaan teori mengenai transplantasi multiviseral dan hati juga berkembang dari studi imunosupresi yang mempelajari algoritma empiris dari pengenalan pola dan respon terapis. Pada awal 1960, dibuktikan bahwa canine dan allograft manusia memiliki toleransi kimersime yang dapat terinduksi otomatis dengan bantuan imunosupresi, hingga pada akhir 1962 disimpulkan dengan keliru, bahwa transplantasi melibatkan dua sistem kekebalan yang berbeda. Konsekuensi kesimpulan tersebut menjadi dogma bahwa tolerogenisitas hati, pada dasarnya, berbeda, tidak hanya dengan sumsum tulang belakang, tetapi dengan seluruh organ tubuh yang lain.[79] Kekeliruan ini tidak terkoreksi dengan baik hingga tahun 1990.[78]
Transplantasi hati yang pertama dilakukan di Denver pada tahun 1963,[81] keberhasilan pertama tercatat pada tahun 1967 dengan azatioprina, prednison dan globulin anti-limfoid, oleh Thomas E. Starzl dari Amerika Serikat, disusul oleh keberhasilan transplantasi sumsum tulang belakang manusia pada tahun 1968.[78] Rentang waktu antara 1967 hingga 1979 mencatat 84 kali transplantasi hati pada anak dengan 30% daya tahan hidup hingga 2 tahun.[81]
Perkembangan studi imunosupresi kemudian memberikan perbaikan dan harapan hidup lebih panjang bagi pasien, antara lain dengan pergantian azatioprina dengan siklosporina pada tahun 1979, lalu tergantikan dengan takrolimus pada tahun 1989.[80]
Pada tahun 1992, dikembangkan teori mikrokimerisme leukosit donor[82] dengan cakupan donor dari silsilah berlainan, yang memberikan harapan hidup yang sangat panjang bagi penerima donor organ, setelah diketahui hubungan antara aspek imunologis dari transplantasi, infeksi, toleransi oleh sumsum tulang belakang, neoplasma dan kelainan otoimun, yang disebut sebagai mekanisme seminal. Respon kekebalan dan toleransi kekebalan antara organ donor dan tubuh ditemukan merupakan fungsi dari migrasi dan lokalisasi leukosit.[79] Salah satu temuan adalah aktivasi sistem kekebalan turunan oleh sel NK dan interferon-γ segera setelah transplantasi selesai dilakukan.[83] Pada model tikus, sel hepatosit donor ditemukan bersifat sangat antigenik sehingga memicu respon penolakan, yang dapat dilakukan secara mandiri atau bersama-sama antara sel T CD4 dan sel T CD8.[84]
Untuk itu diperlukan terapi imunosupresif yang intensif sebelum transplantasi dilakukan, yang disebut preparative regimen atau conditioning untuk mencegah penolakan organ donor oleh sistem kekebalan inang.[85] Terapi imunosupresif tersebut ditujukan untuk menekan sel T dan sel NK inang guna memberikan ruang di dalam sumsum tulang belakang untuk transplantasi sel punca hematopoietik dari organ donor melalui terapi mielosupresif, untuk keseimbangan repopulasi sel donor dengan sel hasil diferensiasi dari sel punca inang.
Dewasa ini, transplantasi hati dilakukan hanya pada saat hati telah memasuki jenjang akhir suatu penyakit, atau telah terjadi disfungsi akut yang disebut fulminant hepatic failure. Kasus transplantasi hati pada manusia umumnya disebabkan oleh sirosis hati akibat dari hepatitis C kronis, ketergantungan alkohol, hepatitis otoimun dll.
Teknik umum yang digunakan adalah transplantasi ortotopik, yaitu penempatan organ donor pada posisi anatomik yang sama dengan posisi awal organ sebelumnya. Transplantasi hati berpotensi dapat diterapkan, hanya jika penerima organ donor tidak memiliki kondisi lain yang memberatkan, seperti kanker metastatis di luar organ hati, ketergantungan pada obat-obatan atau alkohol. Beberapa ahli berpedoman pada kriteria Milan untuk seleksi pasien transplantasi hati.
Organ donor, disebut allograft, biasanya berasal dari manusia lain yang baru saja meninggal dunia akibat cedera otak traumatik (kadaverik). Teknik transplantasi lain menggunakan organ manusia yang masih hidup, operasi hepatektomi mengangkat 20% hati pada segmen Coinaud 2 dan 3 dari orang dewasa untuk didonorkan kepada seorang anak, pada tahun 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar